Senin, 19 Mei 2014

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP IDENTITAS NASIONAL



UNIVERSITAS GUNADARMA
PROGRAM STRATA 1 (S1)
FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEin-IWCFDczteJwWcJLm8cJFB4zWWcBBR5SfrQZCyka6AqQX6F-rDjjY_-rHzypcaf3rPYVCxmJyu6f_DHr81daGFDrKtI02klmcsZECIAuqEpnDkY-AWq7fPM-aqcQKk9iYu4WO8WqpW8/s1600/logo_gunadarma-300x298.jpg


PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP IDENTITAS NASIONAL


Nama          : Yudinda Cahya Permana
NPM                    : 18212323
Kelas                    : 2EA21
Fakultas      : Ekonomi / Manajemen
Mata Kuliah         : Pendidikan Kewarganegaraan (softskill)




UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
KATA PENGANTAR
Pertama saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunianya yang telah diberikan kepada saya. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan keluarganya, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin. Saya selaku penyusun makalah, alhamdulillah telah berhasil menyelesaikan makalah “Pendidikan Kewarganegaraan” tentang “Pengaruh Globalisasi Terhadap Identitas Nasional”. Dan makalah ini saya ajukan sebagai tugas untuk melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa. Semoga dengan tersusunnya makalah ini, diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami bagaimana pengaruh dari Globalisasi terhadap Identitas Nasional. Saya menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya masukan, pendapat, maupun kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan mendapat ridho Allah SWT. Amin.

           Jakarta  , 10 Mei 2014
                                                                                                                                                                                                                                                                                                   (Yudinda Cahya Permana)





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………. ii
BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………….1
1.1 Latar Belakang…………………………………………..1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………..1
1.3 Tujuan ………………………………………………………2
BAB 2 PEMBAHASAN……………………………………… 2
2.1 Pengertian Globalisasi ……………………………….2
2.2 Pengertian Identitas nasional……………………. 3
2.3 Pengaruh Globalisasi terhadap Identitas Nasional…………….. 4
BAB 3 PENUTUP……………………………………………..7
3.1 Kesimpulan ………………………………………………7
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….8









BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Indonesia adalah Bangsa yang kaya akan nilai-nilai budaya dan sejarah, yang tentunya budaya dan sejarah tersebut mempengaruhi semua aspek kehidupan dan memberikan serta membantu dalam pembentukan pola fikir dan paradigma masyarakat dalam bernegara dan bertanah air. Di era globalisasi dan jaringan informasi yang dapat di akses oleh siapapun dan kapanpun mengakibatkan terjadinya perkembangan di segala sektor dan pemahaman baru tentang budaya serta penerapan-penerapan akan pola yang diterapkan oleh Negara lain.
Salah satu Negara yang menjadi tujuan dan penyebaran jaringan informasi dan budaya global adalah Indonesia, karena Indonesia adalah Negara berkembang dengan tingkat populasi yang selalu meningkat dan ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang memungkinkan untuk mengakses informasi baik itu dalam bentuk informasi data maupun informasi global yang termasuk di dalamnya unsur-unsur budaya asing yang notabene tidaklah sesuai dengan budaya Timur yang merupakan ciri khas Bangsa Indonesia. Dari kemajuan bidang ini kemudian mempengaruhi sektor-sektor lain dalam kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan bahkan identitas nasional dari suatu bangsa itu sendiri.






1.2  Rumusan Masalah

1. Apa itu Globalisasi ?
2. Apa itu Identitas Nasional ?
3. Apa pengaruhnya Globalisasi terhadap Identitas nasional ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Globalisasi
2. Mengetahui pengertian Identitas Nasional
3. Mengetahui pengaruh Globalisasi terhadap Identitas Nasional











BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Globalisasi
Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.
Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik.
Khususnya, globalisasi terbentuk oleh adanya kemajuan di bidang komunikasi dunia. Ada pula yang mendefinisikan globalisasi sebagai hilangnya batas ruang dan waktu akibat kemajuan teknologi informasi
Pengertian Globalisasi menurut bahasa adalah Global dan sasi, Global adalah mendunia, dan Sasi adalah Proses, jadi apabila pengertian Globalisasi menurut ahasa ini di gabungkan menjadi “Proses sesuatu yang mendunia”.
• Pengertian Globalisasi menurut para ahli :
a.       Thomas L. Friedman : Globalisasi memiliki dimensi idiology dan tekhnologi. Dimensi tekhnologi yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi tekhnologi adalah tekhnologi informasi yang telah menyatukan dunia .

b. Malcom Waters : Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma didalam kesadaran orang .

c. Emanuel Ritcher : Globalisasi adalah jaringan kerja global secara bersamaan menyatukan masyarakat yang sebelumnya terpencar – pencar dan terisolasi kedalam saling ketergantungan dan persatuan dunia .
d. Achmad Suparman : Globalisasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu benda atau perilaku sebagai ciri dan setiap individu di dunia ini tampa dibatasi oleh wilayah
 
e. Martin Albrown : Globalisasi menyangkut seluruh proses dimana penduduk dunia terhubung ke dalam komunitas dunia tunggal, komunitas global

f. Laurence E. Rothenberg : Globalisasi adalah percepatan dan intensifikasiinteraksi dan integrasiantara orang-orang, perusahaan, dan pemerintah dari negarayang berbeda.

g. Selo Soemardjan : globalisasi adalah suatu proses terbentuknya sistem organisasidan komunikasi antarmasyarakat di seluruh dunia. Tujuan globalisasi adalahuntuk mengikuti sistem dan kaidah-kaidah tertentu yang sama misalnya terbentuknya PBB, OKI

h. Scholte : Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional.Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.

• KESIMPULAN : Globalisasi secara singkat adalah ” Sebuah proses dimana antar individu kelompok menghasilkan suatu pengaruh terhadap dunia “.

2.2 Pengertian Identitas Nasional

Istilah Identitas Nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan, secara etimologis, identitas nasional dari kata “identitas” dan “nasional”. Identitas berasal dari bahasa Inggris identity memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda, atau jati diri yang melekat pada seorang, kelompok masyarakat bahkan suatu bangsa sehingga dengan identitas membedakan dengan yang lain.
Kata “Nasional” menunjuk pada konsep kebangsaan. Nasional menunjuk pada kelompok-kelompok persekutuan hidup manusia yang lebih besar dari sekedar pengelompokan berdasarkan ras, agama, budaya, bahasa, dan sebagainya. Identititas nasional lebih merujuk pada identitas bangsa dalam pengertian politik.
Dengan demikian identitas nasional suatu bangsa adalah ciri khas yang dimiliki suatu bangsa yang membedakannya dari bangsa lainnya. Namun demikian proses pembetukan Identitas nasional bukan merupakan sesuatu yang sudah selesai, tetapi sesuatu yang terbuka dan terus berkembang mengikuti perkembangan jaman. Akan terjadi pergeseran nilai dari identitas itu sendiri apabila identitas itu tidak dapat dijaga dan dilestarikan, sehingga mengakibatkan identitas global akan mempengaruhi nilai identitas nasional itu sendiri.
Secara umum terdapat beberapa dimensi yang menjelaskan kekhasan suatu bangsa. Unsur-unsur identitas itu secara normatif, berbentuk sebagai nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis.
2.3 Pengaruh Globalisasi terhadap Identitas Nasional
Pengaruh tersebut meliputi dua sisi, yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain-lain akan mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat di Indonesia.
Pengaruh itu dapat dilihat sebagai berikut :
Pengaruh Positif dari Globalisasi terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara :
1.      Globalisasi di bidang politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan dijalankan secara akuntabel, transparan dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa menjadikan rasa bangga terhadap Negara Indonesia menjadi meningkat.

2.      Globalisasi dalam bidang ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.

3.      Globalisasi dalam bidang sosial budaya, dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal bangga kita terhadap bangsa.

4.      Globalisasi dalam dunia pendidikan, memberikan informasi tentang ilmu pengetahuan dari belahan bumi yang lain melalui internet maupun discovery televisi, sehingga pendidikan akan menjadi maju dan mampu bersaing dengan negara maju lainnya, karena ilmu/pengetahuan yang diperoleh hampir sama.

Pengaruh Negatif dari Globalisasi terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara :
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.
2. Globalisasi di bidang ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk-produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) menjamur di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Masyarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat seperti seks bebas dikalangan remaja , yang saat ini dianggap bukan hal yang tabu lagi, perkembangan pornografi yang dengan kemajuan teknologi yang canggih banyak dikonsumsi oleh anak dibawah umur dengan bebas dan mudah mendapatkannya, tingkat peggunaan obat-obat terlarang yang sangat memprihatinkan dan bahkan negara Indonesia dijadikan objek pasar dari penjualan obat terlarang internasional.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.
5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antar perilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
6. Perusahaan-perusahaan dalam negeri tidak mampu bersaing dengan perusahaan multinasional yang ada di negara kita, karena kualitas sumber daya manusia dan peralatannya lebih canggih dibandingkan perusahaan dalam negeri kita. Sehingga yang menguasai pasar lebih banyak produk dari perusahaan multinasional, yang dianggap produknya lebih berkualitas oleh masyarakat. Suka atau tidak suka, globalisasi adalah fakta yang harus dihadapi. Belum pernah dalam sejarah terdapat suatu negara yang mampu secara konsisten menghadapi globalisasi dengan menutup diri. Isolasi hanya mengakibatkan terhambatnya pertukaran gagasan dan teknologi yang mengakibatkan kemunduran. Cina merupakan contoh paling klasik. Politik isolasi China dimulai ketika teknologi navigasi kelautan dipandang mulai memberikan ancaman sebagai sumber masuknya pengaruh asing. Namun pada akhir abad ke-19 China yang lemah dalam hal teknologi dan ekonomi tidak mampu menahan penggerogotan yang dilakukan kekuatan-kekuatan asing.
kemudian muncul lah glokalisasi. Glokalisasi adalah salah satu konsep yang ikut berkembang bersama globalisasi adalah glokalisasi. Istilah glokalisasi dipopulerkan oleh Roland Robertson pada tahun 1977 dalam konfrensi “Globalization and Indigenous Culture”. Secara umum glokalisasi adalah penyesuaian produk global dengan karakter lokal. Ada juga yang berpendapat glokalisasi adalah berfikir global bertindak lokal. Menurut Eko Budiarjo guru besar Universitas Diponegoro glokalisasi adalah glokalisasi dengan cita rasa lokal.glokalisasi dimaknai dengan munculnya interpretasi produk-produk global dalam konteks lokal yang dilakukan oleh masyarakat didalam berbagai wilayah budaya. Interpretasi lokal masyarakat tersebut kemudian juga membuka kemungkinan adanya pergeseran makna atas nilai budaya. Dalam proses glokalisasi medium bahasa juga di pergunakan.
Hal ini yang mengakibatkan banyak terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai yang dulunya sangat dominan pada kalangan masyarakat dan dijalankan dengan sepenuh hati, sekarang sudah menjadi barang yang aneh dan langka. Pengaruh globalisasi terhadap masyarakat yang ditransformasikan ke dalam budaya Indonesia yang akhirnya akan mensinergikan budaya-budaya “Timur” Indonesia terhadap budaya “Barat” yang cenderung kepada Liberalisme dalam usaha pencapaian Glokalisasi yang meminimalisasi bahkan menghilangkan budaya-budaya Indonesia yang terkenal dengan keramahtamahan dan kesopanan.







BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Globalisasi memang tidak bisa dihindari, memang perdebatan mengenai pengaruh baik buruknya globalisasi sebenarnya menjadi perdebatan yang klasik. Namun sekarang bagaimana globalisasi mampu mempengaruhi identitas bangsa Indonesia ditengah ancaman pengaruh asing dan masuk dalam arena global, secara jelas telah dijelaskan pada bahasan terdahulu bahwa globalisasi mempunyai pengaruh positif dan negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengaruh globalisasi yang positif itu dapat dilihat pada aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan. Dimana telah dijelaskan bahwa pada aspek politik, tata pemerintahan kita akan tercipta pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan dinamis. Dalam aspek ekonomi, dengan bebasnya perusahaan asing berinvestasi di Indonesia menyebabkan terbukanya lapangan kerja yang harapannya mampu mengurangi angka penganguran. Di bidang sosial budaya akan menjadikan masyarakat kita lebih disiplin, etos kerja yang tinggi, seprti yang telah menjadi budaya barat. Sedangkan dalam aspek pendidikan inilah yang merasakan dampak positif yang banyak, karena pengetahuan dan ilmu yang diperoleh tidak dari lingkungan sekolah, kampus, atau yang lainnya, tapi melalui kemajuan iptek seperti internet dan siaran discovery televisi akan menambah ilmu dan pengetahuan kita.
Selain dampak positif, globalisasi juga mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dampak negatif tersebut, antara lain : globalisasi yang berlandaskan asas liberalis akan membuat sedikit pergeseran ideologi dari Pancasila menuju Liberalisme, rasa bangga terhadap produk-produk dalam negeri akan berkurang karena masyarakat lebih senang membeli produk asing yang lebih berkualitas dan lebih higienis seperti Coca-cola, Mc Donalds, Pizza Huts, dan sebagainya. Dan yang paling memprihatinkan yaitu, gaya hidup remaja kita yang sudah meniru gaya hidup orang barat seperti potongan rambut Punk dan dicat berwarna-warni, seks bebas bukan menjadi hal tabu, konsumsi narkoba dan bahkan negara kita sudah menjadi jalur internasional peredaran narkoba di dunia. Sikap individualisme dari masyarakat sehingga prinsip gotong-royong luntur, dan terjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin dengan dilihat materi yang dimiliki seperti handphone, laptop, mobil dan lain sebagainya.
Globalisasi juga menjadi ”hantu” yang menakutkan bagi perusahaan-perusahaan dalam negeri, karena dengan globalisasi telah dibuka kran-kran pasar bebas sehingga perusahaan-perusahaan luar bisa berinvestasi di negara kita. Hal ini yang menyebabkan perusahaan dalam negeri kita tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing yang mempunyai produk-produk yang mutu dan kualitasnya lebih bagus dari produksi dalam negeri, sehingga publik lebih memilih produk buatan perusahaan asing.
Globalisasi dan pengaruh asing sudah menjadi kekuatan alamiah yang mempengaruhi semua masyarakat di muka bumi, sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Pilihan yang tersedia hanyalah menghadapinya dengan cermat. Pengaruh asing dapat diibaratkan sebagai kuman yang menakutkan, namun selama bangsa kita memiliki sistem kekebalan tubuh yang cukup kuat, kuman tersebut tidak akan menjadi kekuatan yang mengancam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ini adalah harapan kita semua, bagaimana kita dapat mengadopsi nilai dan budaya dari luar yang baik bagi bangsa ini serta adanya badan pengawasan serta pengembangan budaya asli Indonesia dari Pemerintah, jangan sampai budaya tersebut menjadi terkikis dan hilang dari masyarakatnya sendiri, akibat dari arus globalisasi yang begitu besar.

KETIKA WARGA TIDAK MEMILIH HAK SUARA PADA PEMILU CALEG DAN CAPRES (GOLPUT)


PDF
Cetak
Surel



Golongan putih atau yang dikenal dengan istilah golput telah menjadi adagium politik modern yang banyak diper­bincangkan. Istilah ini dilekat­kan pada pilihan politik indivi­du dan masyarakat yang tidak turut menyumbangkan suara dalam bentuk mencoblos pada saat pemilu ataupun kegiatan politik lainnya.
Para ahli dan teorisasi politik melihat ini sebagi aksi politik (political action) yang memiliki ekses penyimpangan dan pertentangan terhadap eksistensi demokrasi. Sebagain besar sarjana ilmu politik memberikan tesis bahwa golput berdampak secara negatif atas pertumbuhan demokrasi.
Pada, Kamis, (12/9/2013), Okezone.com, memuat tulisan Januri bejudul “Golput Bukan Keinginan Rakyat”. Tulisan itu menarik untuk dicermati. Mengingat golput sudah meng­gurita dalam ruang demokrasi politik Indonesia sejak Pemilu 1999. Dalam tulisan ini, penulis berupaya memberikan kritik-humanis terkait dengan dialek­tika golput sebagai antitesa dari muncul ketidakpercayaan (distrust) publik atas kinerja lembaga negara dan istitusi penyokong demokrasi yang dibangun oleh Jainuri.
Pertama, dengan menyitir data Kompas (6/9/2013), Jainuri memberi kesimpulan bahwa korupsi adalah sumber bencana politik yang menyuburkan tindakan golput. “Tampaknya masyarakat muak dengan politisi dan birokrasi, baik yang ada di level pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Di tingkat pusat, setiap saat masyarakat menyaksikan kasus tindakan korupsi politisi dan birokrasi.”
Fakta ini tidak selalu benar. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara maju lainnya, angka partisipasi politik dalam pemilu tidak lebih dari 40-50 persen. Artinya, golput masih menjadi isu sentral politik di berbagai belahan dunia. Hanya saja faktor-faktor penyebab yang memicu tinda­kan golput sangat beragam.
Pada Juli 2012 lalu, The Guardian merilis hasil penelitian Democratic Audid yang dilaku­kan oleh Stuart Wilks-Heeg, yang kemudian laporannya berjudul British democracy in terminal decline, warns report. Dalam laporannya, Wilks menemukan hanya 1 (satu) persen dari total pemilih yang menentukan pilihan partai politik sebelum datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Dan hanya 6 dari 10 pemilih yang memiliki hak pilih mendatangi TPS untuk memi­lih.  Selanjutnya, kata Wilks, golput didominasi oleh kelompok menengah ke atas, bukan oleh kelompok apatisme politik yang muncul dari kelas bawah.
Apa yang disampaikan Wilks menunjukkan golput sebagai pilihan politik tidak selalu datang atas alasan rasional politik warga. Rakyat yang tidak sejahtera, miskin dan tertinggal belum tentu akan melakukan pilihan tinda­kan golput. Justru jika kita perhatikan kelompok inilah yang paling antusias menyam­but pemilu dengan berbagai macam seremoninya. Artinya, pilihan untuk golput tidak berdasarkan argumentasi ekonomi (baca: perut) oleh warga negera.
Dengan demikian, analisis Januri dengan menempatkan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai contoh dimana masya­rakat yang sulit mendapat akses publik; kesehatan, sanitasi, dan pendidikan cender­ung memilih golput tidak dapat dibenarkan. Analisisnya menga­da-ngada dan tidak sepadan secara konseptual dengan prilaku golput sebagai tindakan politik. Bandingkan saja, pada pemilukada 2012 lalu DKI Jakarta berada diangka golput sebesar 37,05 persen. Sedangkan NTB pada pemi­lukada 2013 berada diangka 30, 54 persen. Jelaslah, bukan faktor “perut” yang menentukan golput.
Kedua, hal yang patut diperhatikan dalam analisis Jainuri adalah apakah tindakan golput sebagai pilihan tindakan politik rasional atau sekedar implikasi kebijakan negara yang tidak memadai: korupsi, kemis­kinan, pengangguran, dan kesenjangan ekonomi. Jawa­bannya adalah belum tentu. Misalnya, apakah partisipasi politik yang tinggi pada Orde Baru dapat disamaratakan dengan partisipasi politik pada era reformasi sekarang? Jelas berbeda. Dalam hemat penulis, partisipasi politik dan tindakan golput hampir dapat dipastikan mengikuti rezim yang berkuasa.
Untuk memperjelas, Samuel P. Huntington dan Nelson (1994:11) membuat klasifikasi dua karakter partisipasi politik. (1) partisipasi sukarela, yaitu partisipasi yang demokratis dan otonom. Pada level ini, setiap warga negara berperan secara aktif dalam proses pemilu dan agenda politik secara sukarela, tanpa tekanan, tanpa pemak­saan. (2) partisipasi yang dimobilisasi, yaitu keikutsertaan warga negara dalam pemilu dan politik yang dimanipulasi dan didukung oleh kekuatan otoritatif, baik yang dilakukan oleh rezim ataupun oleh kelom­pok-kelompok tertentu.
Dari kacamata ini, mari kita melihat fenomena golput sebagai tindakan politik warga. Para ahli politik berpendapat, golput dapat mengganggu stabilitas demokrasi karena minimnya partisipasi. Teorinya: demokrasi yang baik adalah apabila diikuti oleh keikut­sertaan publik-politik warga secara aktif. Namun perlu diingat, kualitas demokrasi tidak serta merta diukur oleh ta­karan dan ukuran dalam jumlah yang paling banyak (mayoritas). Jika de­mokrasi selalu diartikan sebagai “ke­menangan mayoritas” maka dalam setiap pemilu pasca reformasi golput adalah peme­nangnya. Demokrasi yang selalu mencari bentuk pada jumlah mayoritas inilah yang sebe­narnya menjadi ancaman bagi proses demokratisasi. Demokrasi berbicara tentang prosedur dan mekanisme pemerintahan dijalankan. Bukan jumlah. Dan konsep demokrasi liberal yang dianut Indonesia mensyaratkan pada suara mayoritas:suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Persoalannya, rakyat yang mana, dan seperti apa yang memiliki mandatori untuk melegitimasi pe­merintahan “dari rakyat,oleh rakyat,untuk rakyat”.
Demokrasi yang model inilah yang ditolak oleh filsuf  Plato. Demokrasi Athena seperti yang digambarkan Plato disebut sebagai kemerosotan kota, dan pembusukan moralitas pemim­pinnya. Athena yang menjadi jargon demokrasi waktu itu adalah pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas kaum muskin, dimana para pemimpin dapat melakukan tindakan-tindakan imoralitas dan jahat selama didukung oleh mayoritas (Georg sorensen, 1993:3). Demokrasi bukan persolan kuantitas, tetapi kualitas dan akuntabilitas.
Hal mendasar yang ingin saya sampaikan di sini adalah, golput yang terjadi di Indonesia saat ini bukan atas  dasar pilihan politik rasional warga sebagai akibat dari berbagai fenomena penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat negara. Tetapi golput adalah sebagai akibat dari tidak berkerjanya prinsip-prinsip demokrasi sedari awal pada seluruh lini kehi­dupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat juga tidak mema­hami pentingnya partisipasi politik dalam era demokrasi. Oleh karena itu, golput bukan­lah tindakan politik yang dilakukan secara sadar berda­sarkan pertimbangan-pertim­bangan politik oleh warga ngara. Disini, apa yang di­sampaikan oleh Jainuri tidak menemukan pembenaran secara faktual. Perlu juga untuk melakukan perbandingan-perbandingan tingkat golput negara lain berdasarkan budaya politik masing-masing.
Belum lagi jika kita melihat model partisipasi politik rakyat Indonesia. Sebagaimana yang disebut Huntington dan Nelson (1999:11), model partisipasi politik kita masih harus dimobilisasi oleh berbagai kelompok kepentingan politik. Rakyat tidak secara sukarela datang ke  TPS berdasarkan pilihan-pilihan politik yang telah disusun dalam pikiran-ideologi dan prinsip-prinsip demokrasi. Jadi, melihat golput sebagai bentuk perlawanan politik warga, masih harus dikaji kembali.
Dapatkah kita mengatakan bahwa semakin tingginya angka golput merefleksikan semakin rasionalnya pemilih Indonesia? Apakah fenomena ini menunjukkan berlakunya hukum reward and punishment dalam politik Indonesia? Me­mang faktor-faktor sosiologis-psikologi tidak dapat diabaikan sebagai faktor meningkatnya golput. Namun alasan ini tidak cukup relevan untuk menje­laskan perubahan prilaku politik pemilih. Bahkan faktor sosiologis seperti agama, kedaerahan, dan suku tidak cukup mampu menjelaskan perubahan perilaku politik nasional dari hasil pemilu legislatif ataupun pilpres (Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, 2012: 305).
Golput di Indonesia secara signifikan terjadi sejak pemilu pertama pasca reformasi. Pemilu 1999, partisipasi pemilih sekitar 93%, kemudian menu­run pada pemilu 2004 menjadi 85%. Penurunan drastis terjadi pada pemilu 2009 menjadi 71%. Sedangkan pada pilpres 2004 putaran pertama partisipasinya sebesar 80%, lalu menurun menjadi 77% pada putaran kedua. Angka ini menurun lagi pada pilpres 2009 menjadi 72,5%.
Terakhir, individu-individu dalam politik adalah mahluk rasional. Namun benarkah mereka telah melakukan pilihan politik (golput) secara rasional? Tidak! Rasionalitas politik pemilih tidak berdasarkan ukuran-ukuran kualitatif sebe­rapa besar mereka terlibat dalam proses politik. sebagain besar pemilih golput tidak mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah. Artinya, mereka tidak terlibat secara aktif dalam kehidupan politik. Dan golput adalah reaksi psikologis atas situasi politik yang tidak stabil